IMAM BUKHARI

Hadits, dikala Rasulullah s.a.w dan para sahabat masih hidup, belum terbubukan seperti sekarang. Berbeda dengan ayat-ayat Al-qur'an, hadits dicatat secara teratur. Lebih banyak direkam dibenak para sahabat, dan dipindah-pindahkan secara lisan. Rasulullah bahkan melarang mereka menuliskan ucapan, tindakan, atau apapun dari beliau sepanjang diperkirakan akan menyebabkan percampurannya dengan pencatatan Al-qur'an. Toh, hafalan yang kuat, kejujuran dan disiplin yang ketat, baik dalam penyampaian maupun menerima hadits -- disamping catatan-catatan pribadi dari para sahabat dan tabi'in (generasi pasca sahabat) -- terbukti telah membantu memelihara keutuhan dan kemurnian sunnah nabi.
Penulisan hadits secara resmi baru terjadi pada akhir masa tabi'in. Ini dilakukan karena banyak cendikiawan Islam (ulama) yang telah banyak menyebar ke pelbagai penjuru dan nara sumber yang sudah meninggal. Juga, waktu itu sudah bermunculan hadits-hadits palsu, yakni sejak meninggalnya Ali bin Abi Thalib r.a., yang ditandai dengan tumbuhnya firqah-firqah (faksi-faksi) politik : Syiah, Khawarij, dan lain-lain. Ibnu Abil Hadid, dalam bukunya Nahjul Balagah, menuturkan bahwa yang mula-mula menciptakan hadits palsu adalah kelompok Syiah, yakni untuk mengagung-agungkan tokoh mereka. Tepatnya, kodifikasi hadits dimulai pada tahun 100 H atas inisiatif dan titah Khalifah Umaiyah Umar ibn Abdil Aziz. Maka diberbagai daerah berlangsunglah penelitian dan pembukuan oleh ulama-ulama setempat. Buku-buku hadits yang ditulis dimasa ini tidak sampai kepada kita, meskipun isinya kebanyakan sudah dimasukkan kedalam buku-buku yang lebih belakangan.
Kegiatan itu semakin ramai. Para Khalifah Dinasti Abasiyah meneruskan jejak Umar dengan memerintahkan para ulama menghimpun hadits. Maka, tesebutlah, diantar para penghimpun generasi ketiga (thabaqat Tsalitsah) : Malik di Madinah, Abu Muhammad Abdul Malik ibnu Abdil Aziz ibnu Juraij di Mekah, Al-Auza'i di Syam, Abu Abdillah Sufyan ibnu Sa'id Atsauri di Kufah, dan masih banyak lagi. Diantara mereka, sambil mengingat mekanisme "pemindahan isi" seperti yang sudah tersebut, hanya Imam Malik yang karyanya, Al-Muwaththa', masih terpelihara utuh hingga kini -- tentunya karena Imam Malik mempunyai mazhab fikih besar yang mendukungnya.
Ketika Bukhari tumbuh dan melihat karya-karya mereka, timbul niatan dihatinya untuk melakukan pengetatan dalam penyusunan hadits. Menurut dia karya-karya generasi terdahulu masih kurang memperhatikan unsur validitas suatu hadits. Yang sahih, hasan dan dla'if, meskipun terlihat dari ciri-ciri masing-masing, masih dicampuradukan. Mereka juga memasukan fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in. Itulah kerja besar Bukhari, yang telah memberinya nama luar biasa besar pula dikalangan ahli hadits. " Orang yang pertama menyusun kitab hadits shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail (Al-Bukhari), Baru kemudian Abul Hasan Muslim ibnul Hajjaj Al-Qusyairi, " tulis Abu Amr ibnu Shalah dalam kitab Ulumul Hadits. Setiap hadits yang disandarkan kepada nama tersebut dijamin tingkat validitas dan otentitasnya. Bahkan Shahih Bukhari diposisikan sebagai kitab terpenting setelah Al-Qur'an.

Selektifitas Hadits.
Imam Bukhari menerapkan proses selektifitas yang sangat ketat. Ia melakukan penelitian mendalam atas setiap hadits yang ditemuinya, baik dari aspek sanad (rangkaian periwayatan) maupun matan (body text). Aspek metodologinya memang kuat. Selain itu dia juga berdo'a dan melakukan meditasi. Muhammad ibnu Yusuf Al-Firyabi menuturkan bahwa setiap kali memutuskan untuk memasukan satu hadits kedalam kitabnya, terlebih dahulu Bukhari mandi dan shalat sunnah dua rakaat.
Ada delapan metode penyebaran hadits (tahammul hadits) : sama' (mendengar secara langsung pada guru hadits), qira'ah (murid membaca guru menyimak), ijazaah ( pemberian izin guru kepada muridnya untuk mengajarkan kitab atau hadits tertentu), munawalah (penyebaran hadits dengan era guru memberikan kitabnya kepada muridnya), kitabah (guru menuliskan hadits untuk muridnya), I'lam (guru memberitahu muridnya bahwa suatu hadits atau kitab hadits pernah didengar), washiyah (proses pengajaran hadits melalui pesan), dan wijdah (murid menemukan kitab hadits yang belum pernah diriwayatkan). Bukhari menolak metode washiyah dan wijdah. Setiap hadits yang diriwayatkan dengan dua metode ini menurutnya, tidak dipandang shahih karena sanadnya munqati (terputus) oleh tiadanya tatap muka antara murid dan guru. Dalam menentukan sahih dan tidaknya sebuah hadits Bukhari mengemukakan dua syarat. Meskipun hanya dua, namun syarat ini sangat berat sekali untuk dipenuhi. Pertama, perawi harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak pribadi, keilmuwan dan standar akademis. Kedua, harus ada informasi positif tentang para perawi yang memastikan bahwa mereka saling bertemu muka, dan para murid mendengar langsung dari gurunya (muttashil). Itulah, terutama yang kedua, yang dikenal sebagai syartul Bukhori : murid dan guru benar-benar bertemu, bukan hanya mungkin bertemu. Inilah yang membedakan Bukhari dengan periwayat lain.

Belajar hadits.
Bukhari belajar hadits saat masih sangat belia, bahkan belum mencapi usia 10 tahun. Dalam usia 16 ia sudah hafal beberapa buku karangan ulama terkemuka seperti Ibnu Mubarak dan Waqi'. Konon beliau tidak hanya hafal matannya, tetapi juga memiliki pengetahuan yang mendalam tentang latar belakang sejarah matan (ashabul wurud) berikut sejarah mata rantai pembawa (transmitter) hadits tersebut secaara mendetail. Dari riwayat hidup dan etika sampai tingkat intelektualitasnya. Nama lengkap sarjana besar ini : Abu Abdillah Muhammad ibnu Ismail ibnu Ibrahim ibn Mughirah ibn Bardizbah, canggah (ayah buyut) Bukhari, berasal dari persia dan beragama Majusi. Anak Bardizbah yang bernama Al-Mughirah masuk Islam atas dakwaan Al-ju'fy ia berimigrasi ke Bukhara dan mencantumkan nama Al-ju'fy dibelakang namanya. Ini merupakan tradisi bangsa Arab waktu itu. Menggunakan nama orang yang mengislamkannya. Bukhara yang terletak di wilayah Uzbekistan, Asia tengah, pernah menjadi pusat perdagangan dunia pada masa Dinasti Samanid ( 261-386 H/872-998M ).
Sepenigggal ayahnya, sebagai anak yatim Bukhari diasuh oleh ibunya sendiri. Suatu ketika ia naik haji bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Ahmad. Setelah haji ia tidak ikut pulang bersama ibu dan saudara laki-lakinya. Ia memutuskan untuk menetap di Mekah guna menuntut ilmu. Ia mendalami hadits dari tokoh-tokoh terkemuka disana seperti Al-Walid Azraqi dan Ismail ibn Salim As-saigh. Ini masih diteruskan " pengejaran " ilmu tentang hadits dari anak cucu sahabat-sahabat nabi di Madinah. Ia pun melakukan penjelajahan dalam mencari hadits kepelbagai negara timur tengah, seperti Mesir, Khurasan, Wasit, Bashrah, Naisapur, Qarasibah, Asqalan, dan Hims. Menurut catatan Ibnu Hajar, pensyarah (komentator) utama kitab shahih Bukhari, Imam Bukhari pernah belajar kepada 1.080 guru dalam bidang ahli hadits. Guru-guru tersebut menurut Ibnu Hajar, terdiri atas lima level. Pertama, Guru yang oernah mendengar hadits dari tabi'in, seperti Muhammad ibnu Abdillah Al-anshari yang meriwayatkan hadits dari Humaid, Makki bin Ibrahim yang mereiwayatkan hadits dari Yazid bin Abi Ubaid; dan masih banyak lagi. Level kedua, mereka yang hidup semasa dengan yang disebut barusan, tapi tidak mendengar hadits dari tabi'in yang bisa dipercaya (tsiqat) seperti Adam ibn Abi Iyas, Said ibn Abi Maryam, dan Ayub ibn Sulaiman ibn Bilal. Level ketiga, mereka yang tidak pernah bertemu dengan tabi'in akan tetapi mendapatkan periwayatan dari tabi'it tabi'in (generasi pasca tabi'in) seperti Sulaiman ibn Harb, Qutaibah ibn Sa'id, Nu'im ibn Hammad, Ali ibn Madini, Yahya ibn Mu'in, Ahamd ibn Hanbal, dan masih banyak lagi. Level keempat, teman seangkat Bukhari sendiri seperti, Muhammad ibn Yahya Az-dzuhli, Abi Hatim Ar-Razi, Muhammad ibn Abdirrahim, Ahmad ibn Nadzar, dan lainnya. Level kelima, mereka yang ketika Bukhari mencari hadits dan sanad memberikan informasi bermanfaat, seperti Abdullah ibn Hammad Al-Amili, Abdullah ibn Abil Abbas Al-Kharizmi, Husain ibn Muhammad Al-Qubbani, dan lain sebagainya.

Kritik hadits.
Tradisi kritis dalam Islam sebenarnya sudah ada jauh sebelum Imanuel Kant menulis tiga buku utamanya tentang nalar kritis, kritik der reinen vermunft (1781), kritik der praktischen vernunft (1788 ), dan kritik der urteilskraft (1790). Sudah dimulai semenjak munculnya insiatif kodifikasi atas ucapan, tindakan, dan penetapan atau persetujuan nabi s.a.w. Bahkan pada zaman Rasulullah masih hidup., bibit untuk kritik hadits ini sudah ada walaupun masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Prateknya adalah melakukan klarifikasi dan konfirmasi apakah nabi pernah mengeluarkan hadits bersangkautan. Sepeninggal nabi, perujukan semacam itu sudah tidak bisa dilakukan lagi. Konsekuensinya mereka hati-hati dalam menyeleksi setiap perkataan dan tindakan yang dinisbatkan kepada nabi s.a.w.
Menurut Ibn Hibban, setelah wafat para sahabat terkemuka, tradisi kritik hadits pengembangannya diambil alih oleh generasi tabi'in. Seperti Ibnul Musyyab (w.94), Abdullah ibn Abdillah ibn Utbah dan masih banyak lagi. Pada masa itu, ada mazhab ulama hadits yaitu Madinah dan Irak. Mazhab Madinah dipelopori oleh, tiga ulama hadits terkemuika, yaitu Az-zuhri, Yahya ibn Sa'id ibn Jubair, Asy-sya'bi, Thawus, Al-Hasan Al-Bashri, dan ibn Sirin. Untuk selanjutnya, Tradisi kritik haadits mengalami perkembangan penting. Meskipun sudah menunjukkan perkembangan, tradisi kritik pada abad pertama tidak bisa dibandingkan dengan yang berkembang pada abad kedua dan ketiga. Semangat pencariannya sungguh sangat luar biasa. Demi mendapatkan suatu hadits, mereka harus melakukan perjalanan jauh kenegri orang. Yahya ibn Mu'in pernah menyatakan : "Ada empat macam manusia yang tidak pernah dewasa dalam hidup mereka". Satu diantaranya adalah orang yang menuliskan hadits di kotanya sendiri dan tidak pernah melakukan perjalanan untuk tujuan tersebut.

Karya Bukhari.
Karya Bukhari menurut Muhammad Azami mencapai sejuimlah 22 buku. Kedu puluh dua karya tersebut masing-masing berjudul ; Qadhayah ashahabah wat-tabi'in, Raf'ul Yadaini, Qira'at Al-Khalf Al-Imam, Khalf Af'al Al-'Ibad, At-Tafsir Al-Kabir, Al-Musnad Al-Kabir, Trikh As-Shaghir, Tarikh Awsath, Tarikh Kabir, Al-Adab Al-Mufrad, Bir Al-Walidain, Adua'fa', Al-Jami' Al-Kabir Al-Syribah, Al-Hibah, Asami' Ashsahabah,Al-Wuhdan, Al-Mabsuth, Al-'Ilal, Al-Kuna, Al-Fawaid dan Shahih Bukhari. Dari sejumlah karya beliau yang paling monumental adalah Shahih Bukhari. Kitab yang berisi 9.082 hadits ini disusun dalam waktu yang relatif panjang yaitu 16 tahun.
Kitab Shahih Bukhari ini dimaksudkan oleh pengarang sebagai suatu dobrakan baru bagi kitab-kitab hadits yang telah dikodifikasikan oleh ulama-ulama pendahulu maupun semasanya yang tentunya ensiklopedis yaitu suatu kitab yang berisi kumpulan dari hadits-hadits baik shahih, hasan, maupun da'if.. Padahal unutk memilah-milah mana hadits yang shaih, hasan dan dai'f dibutuhkan suatu keahlian tersendiri. Keahlian tersebut tidak dipunyai kecuali oleh orang-orang tertentu. Selain itu sistematik penyusunannya pun tidak berdasarkan tema-tema tertentu, sehingga terkesan agak campur baur. Imam Bukhari, dalam hal ini memulai melakukan sistematisasi berdasarkan logika fiqhiyah. Semakin jelas kita lihat hal itu apabila membuka shahih Bukhari. Tampak disana urutan babnya mengikuti kecenderungan bab-bab dalam fikih. Misalnya dalam kitab ini, setelah kitabul wahyu, Al-Imam dan Al-Ilmu, langsung memasuki bab Thaharah, Al-Ghaslu, dan seterusnya. Maklum dia seorang ahli fikih yang sangat terpandang pada zamannya. Untuk masa selanjutnya, kecenderungan tersebut banyak ditiru oleh kalangan ahli hadits pasca-Bukhari. Sebut saja sebagai contoh kitab Bulugul Maram.
Mengenai reputasi Bukhari dalam bidang ilmu fikih memang sudah tidak diraguakn lagi. Abu Nu'aim dan Ahmad ibnu Hammad mengatakan, Bukhari merupakan ahli fikihnya zaman ini. Ibnu Katsir dalam At-tarikh juga dengan bangga mengakui keunggulan Bukhari dalam ilmu fikih dan hadits yang hanya bisa ditandingi oleh Imam ibnu Hanbal dan Ishad bin Rahiyah, salah seorang guru Bukhari sendiri.

Konteks Sosial Politik.
Semasa hidupnya ada dua peristiwa konflik yang agak penting mengenai Bukhari. Pertama, konflik dengan Muhammad ibn Yahya Adzuhli di Naisabur, seorang ulama yang karismatik diwilayah Khurasan. Paling tidak sebelum kedatangan Bukhari kesana pada 250 H. Setelah kedatangan di Khurasan, Bukhari sering dikunjungi banyak orang. Suatu ketika dalam majlisnya seorang berkunjung bertanya, apakah Al-Qur'an itu makhluk atau bukan? Bukhari menjawab bahwa tindakan kita adalah makhluk dan ucapan kita merupakan bagian dari tindakan kita Menanggapi jawaban ini, para pengunjung pecah menjadi dua. Kelompok pertama menganggap bahwa jawaban yang diberikan Bukhari. kelompok yang kedua Bukhari menganggap bahwa lafal Al-Qur'an merupakan makhluk. Sedangkan tidak demikian. Atas persoalan ini, Bukhari dikeluarkan dari Khurasan. Padahal menurut riwayat yang kuat, Bukhari tidak pernah memberikan jawaban bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Yang dikatakan Bukhari adalah Al-Qur'an kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan tindakan kita makhluk. Tapi Adz-Zuhli tetap menuduh Bukhari berkata: "Al-Qur'an itu mahluk". Hal ini bisa dimaklumi, karena setelah kedatangan Bukhari, pamor Adz-Zuhli turun. Rupanya dia merasa cemburu dengan Bukhari.
Menurut Hakim, ketika terjadi pertistiwa pertentangan antara Bukhari dan Adz-Zuhli semua orang menjauhi Bukhari. Hanya Muslim bin Al-Hajjaj dan Ahmad bin Salmah yang masih mau bersamanya. Sebagai seorang ulama, Bukhari juga mengambil jarak dengan kekuasaan. Sikap ini telah menggiringnya kedalam konflik dengan gubernur Khalid bin Ahmad. Suatu ketika gubernur mengirim utusan kepada Bukhari agar mau mengajarkan kitab Al-Jami' Al-Shahih dan sejarah kepadanya. Kepada sang utusan Bukhari mengatakan, ia tidak akan merendahkan ilmu dan juga tidak akan membawa kitab tersebut dihadapan para penguasa. Apabila penguasa butuh, dipersilahkan datang ke masjidnya atau rumahnya. Versi lain mengatakan bahwa Bukhari menolak permintaaan sang gubernur untuk mengajarakan kitab Al-Jami'ush Shahih dan tarikhnya kepada anak-anaknya. Apapun versi sejarahnya, Bukhari memang sangat kritis terhadap penguasa. Ia benar-benar mewarisi Hasan Al-Bashri, ulama generasi pendahulunya, yang tidak pernah akan mendatangi penguasa.

Kritik terhadap Bukhari.
Meskipun tujuan Bukhari dalam menulis kitab hadits ini untuk mengumpulkan hadits-hadits yang sahih, namun belum tentu semua yang diriwayatkan olehnya adalah sahih. Kritik terhadap kumpulan hadits Bukhari tetap ada sejak dulu.
Imam Ad-daruquthni, misalnya, dalam bukunya Al-Istidrakat Wat-tatabbu, mengeritik sebanyak 200 hadits Bukhari dan Muslim. Kemudian Tirmidzi megomentari keberadaan Abu Layla yang menjadi salah satu perawi hadits Bukhari. Menurut Tirmidzi, Abu Layla memang orang bisa dipercaya, namun ia tidak pernah meriwayatkan sedikitpun hadits darinya. Ignaz Goldziher mengeritik dengan sangat keras sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Az-Zuhri hanya tiga masjid yang diperintahkan rasulullah untuk dikunjungi. Menurut Goldziher, hadits ini sangat bernuansa politis. Jadi, ia memastikan atas kepalsuan hadis ini. Hadits dibuat atas perintah Abdul Malik ibn Marwan (Damaskus) kepada Az-Zuhri karena kecemasannya terhadap Abdullah ibn Zubair di Mekah. Abdul Malik ibn Marwan khawatir, Abdullah ibn Zubair memanfaatkan orang Syam yang naik haji ke Mekah untuk berbai'at kepadanya. Untuk itu, Abdul Malik mengusahakan agar orang Syam tidak naik haji ke Mekah. Cukup ke Qubbatush Shakhra (batu cadas) di Palestina.
Oleh Azami, pendapat Goldziher ini tidak dianggap akurat. Data-data historis-kuantitatif yang mendukungnya tidak cukup akurat. Azami mengataakn bahwa antara Az-Zuhri-- lahir antara 50/58 H -- dan Malik sangat berbeda jauh umurnya, dan tidak mungkin keduanya bertemu sebelum tahun 81 H. Masjidil Aqsa yang terletak di Palestina pada tahun 67 H berada diluar kekuasaan Abdul Malik bin Marwan. Khalifah ini baru membangun Qubbatush Shakhra pada tahun 68 H. Pada saat itu Az-Zuhri kira-kira berumur 10 - 18 tahun. Jadi, tidak mungkin anak yang baru berumur demikian muda sudah mempunyai pengaruh besar dalam memindahkan haji dari Mekah ke Pakestina. Apalagi di Syam kala itu masih banyak sahabat dan tabi'in yang hidup. Kritik lain datang dari Ahmad Amin dalam bukunya Fajrul Islam yang menuduh Bukhari hanya mementingkan aspek kritik sanad. Akibatnya banyak hadist Bukhari yang tidak sesuai dengan penemuan ilmu pengeatahuan modern. Misalnya hadits bahwa " seratus tahun lagi tidak akan ada manusia hidup di dunia ini ". Menurut Azami, Ahmad Amin keliru dalam memahami hadits ini. Yang dimaksud bukannya " seratus tahun lagi semenjak nabi mengucapkan ahadits itu tidak ada orang yang hidup lagi ", akan tetapi " orang yang saat itu masih hidup, seratus tahun lagi akan mati ".
Sedangkan Maurice Bucaille menyoroti sisi ketidakcocokan muatan hadits Bukhari dengan sains modern. Misalnya, ia mengkritik tentang hadits " jika lalat masuk air minum, maka celupkan sekalian ". Uintuk menjawab pertanyaan ini, para ahli hadits pecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok konservatif, yang menolak setiap jenis penilaian ilmu penegetahuan terhadap hadits. Menurut mereka, antara ilmu pengetahuan dan hadits tidak ada kesejajaran status. Hadits bersifat sakral, dan kebenarannya berlaku abadi, sedangkan ilmu pengetahuan bersifat profan, dan kebenarannya dikondisikan oleh ruang dan waktu. Kedua, kelompok ektrim, yaitu mereka yang menginginkan agar setiap hadits yang berkenaan dengan keduniawian harus dicek kebenarannya melalui ilmu pengetahuan. Kalau ternyata tidak cocok, maka kebenarannya tidak bisa diterima. Ketiga, kelompok moderat, yaitu mereka yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan bisa digunakan untuk menilai kebenaran hadits tapi dengan syarat, ilmu tersebut berlaku secara tetap dan tidak berubah-ubah kebenarannya.
Dari ketiga kelompok tersebut agaknya kelompok moderatlah yang bisa kita gunakan pendapatnya. Tapi persoalannya, apakah karakter suatu ilmu ada yang benar selamanya dan tidak berubah ?

JANGAN BERSEDIH

Dr. Aidh Alqorni

Jangan bersedih, karena kesedihan itu akan membuat harta yang tersimpan di lemari-lemari Anda yang indah, di istana-istana Anda yang megah, dan di dalam kebun-kebun Anda yang hijau itu hanya akan menambah kecemasan dan kesedihan Anda saja
Jangan bersedih, karena kesedihan itu akan membuat obat yang diberikan dokter, dijual di apotik, dan diagnosa seorang dokter tidak akan pernah membahagiakan diri Anda. Apalagi bila anda masih menanamkan kesedihan dalam hati, menggantungkan kesedihan di dalam kedua kelopak mata, membiarkan diri Anda untuk dimasuki kesedihan itu, dan menyusupkannya di bawah kulit, maka semuanya itu akan sia-sia.
Jangan bersedih, karena Anda masih memiliki do’a. Anda boleh bersimpuh di depan pintu-pintu Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Anda dapat memperoleh ketenangan di depan pintu-pintu Sang Raja Diraja. Anda juga masih memiliki waktu sepertiga akhir malam dan masih menempelkan dahi ke tanah, bersujud.
Jangan bersedih, karena Allah telah menciptakan bumi dengan segala isinya, telah menumbuhkan taman-taman yang memberikan pemandangan indah, kebun-kebun yang berisi tumbuh-tumbuhan yang indah dan rimbun untukmu, kurma-kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun, bintang-bintang bercahaya, hutan belantara, dan sungai-sungai.
Jangan bersedih, karena Anda masih dapat minum air yang jernih, menghirup udara yang segar, berjalan di atas kedua kaki tanpa menggunakan alas kaki, dan Anda masih dapat tidur nyenyak pada malam hari.
Perbanyaklah membaca istighfar agar anda menemukan jalan keluar, mendapatkan ketenangan batin, harta yang halal, dan keluarga yang shalih.
Sabda Nabi: “Barang siapa yang memperbanyak istighfar, nisaya Allah akan memberikan jalan keluar untuk setiap kecemasan dan akan membukakan pintu keluar dari setiap kesempitan”
Laa tahzan, Dr. Aidh alqarny

DI PUJI NABI DI KAGUMI FATIMAH

FATIMAH anakku, maukah engkau menjadi seorang perempuan yang baik budi dan istri yang dicintai suami?" tanya sang ayah yang tak lain adalah Nabi SAW. "Tentu saja, wahai ayahku""Tidak jauh dari rumah ini berdiam seorang perempuan yang sangat baik budi pekertinya. Namanya Siti Muthi'ah. Temuilah dia, teladani budi pekertinya yang baik itu".Gerangan amal apakah yang dilakukan Siti Muthi'ah sehingga Rasulpun memujinya sebagai perempuan teladan? Maka bergegaslah Fatimah menuju rumah Muthi'ah dengan mengajak serta Hasan, putra Fatimah yang masih kecil itu.Begitu gembira Muthi'ah mengetahui tamunya adalah putri Nabi besar itu. "Sungguh, bahagia sekali aku menyambut kedatanganmu ini, Fatimah. Namun maafkanlah aku sahabatku, suamiku telah beramanat, aku tidak boleh menerima tamu lelaki dirumah ini.""Ini Hasan putraku sendiri, ia kan masih anak-anak." kata Fatimah sambil tersenyum."Namun sekali lagi maafkanlah aku, aku tak ingin mengecewakan suamiku, Fatimah."Fatimah mulai merasakan keutamaan Siti Muthi'ah. Ia semakin kagum dan berhasrat menyelami lebih dalam akhlak wanita ini. Lalu diantarlah Hasan pulang dan bergegaslah Fatimah kembali ke Muthi'ah.Khasiat Tiga Benda 'Keramat' "Aku jadi berdebar-debar," sambut Siti Muthi'ah, gerangan apakah yang membuatmu begitu ingin kerumahku, wahai putri Nabi?""Memang benarlah, Muthi'ah. Ada berita gembira buatmu dan ayahku sendirilah yang menyuruhku kesini. Ayahku mengatakan bahwa engkau adalah wanita berbudi sangat baik, karena itulah aku kesini untuk meneladanimu, Wahai Muthi'ah."Muthi'ah gembira mendengar ucapan Fatimah, namun Muthi'ah masih ragu. "Engkau bercanda sahabatku? aku ini wanita biasa yang tidak punya keistimewaan apapun seperti yang engkau lihat sendiri.""Aku tidak berbohong wahai Muthi'ah, karenanya ceritakan kepadaku agar aku bisa meneladaninya." Siti Muthi'ah terdiam, hening. Lalu tanpa sengaja Fatimah melihat sehelai handuk kecil, kipas dan sebilah rotan di ruangan kecil itu. "Buat apa ketiga benda ini Muthi'ah" Siti Muthi'ah tersenyam malu. Namun setelah didesah iapun bercerita. "Engkau tahu Fatimah, suamiku seorang pekerja keras memeras keringat dari hari ke hari. Aku sangat sayang dan hormat kepadanya. Begitu kulihat ia pulang kerja, cepat-cepat kusambut kedatangannya. Kubuka bajunya, kulap tubuhnya dengan handuk kecil ini hingga kering keringatnya. Iapun berbaring ditempat tidur melepas lelah, lalu aku kipasi beliau hingga lelahnya hilang atau tertidur pulas""Sungguh luar biasa pekertimu, Muthi'ah. Lalu untuk apa rotan ini?"Kemudian aku berpakaian semenarik mungkin untuknya. Setelah ia bangun dan mandi, kusiapkan pula makan dan minum untuknya. Setelah semua selesai, aku berkata kepadanya: "Oh, kakanda. Bilamana pelayananku sebagai istri dan masakanku tidak berkenan dihatimu, aku ikhlas menerima hukuman. Pukullah badanku dengan rotan ini dan sebutlah kesalahanku agar tidak kuulangi""Seringkah engkau dipukul olehnya, wahai Muthi'ah?" tanya Fatimah berdebar-debar."Tidak pernah, Fatimah. Bukan rotan yang diambilnya, justru akulah yang ditarik dan didekapnya penuh kemesraan. Itulah kebahagiaan kami sehari-hari""Jika demikian, sungguh luar biasa, wahai Muthi'ah. Sungguh luar biasa! Benarlah kata ayahku, engkau perempuan berbudi baik." kata Fatimah terkagum-kagum.

KESEDERHANAAN UMAR IBN KHATTAB

Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah sebelumnya, yaitu Abû Bakar r.a. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata, “Alangkah baiknya jika kita mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan hidup beliau.”‘Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah ‘Umar. Namun, Utsmân menyela seraya berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada ‘Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada kita.”Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai penambahan tunjangan bagi Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya, barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara kami,” demikian kata mereka.Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya tidak akan memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah tentang usulan itu.”‘Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah, andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah itu, ‘Umar balik bertanya kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah saw. masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di rumahnya?”Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu lagi untuk dipakai sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan yang dimiliki oleh Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan dengan roti yang kasar dan minyak samin.”‘Umar kembali bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”Hafshah menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alastidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya, “Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw. selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, aku punakan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang sedang berjalan. Salah seorang di antara ketiganya telah sampai di tempat tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya. Setelah keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya. Ia menggunakan bekal kedua kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu. Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan kedua kawannya itu di akhirat.”(Sumber: Târîkh ath-Thabarî, jilid I, hlm. 164).

LUKMANUL HAKIM DAN KEDELAI

Alkisah, suatu hari, Lukman mendidik anaknya dengan mengajak remaja itu pergi jauh. Mereka berangkat bersama seekor keledai. Di ujung kampung, masyarakat mengkritik Lukman yang sama sekali tidak mengendarai hewan itu. ''Lukman, di mana-mana keledai ditunggangi, bukan cuma dituntun. Anda ini bagaimana?'' Lukman patuh. Dia menunggangi keledai itu, sementara anaknya menuntun. Di gerbang sebuah kampung, mereka diprotes. ''Orang tua macam apa Anda ini, Lukman?'' kata mereka. ''Masa orang tua naik keledai, sedangkan anaknya dibiarkan jalan kaki?''Lukman tidak membantah, malah menyuruh anaknya menaiki keledai mereka. Keduanya terus berjalan seperti itu, sampai mereka tiba di ujung kampung lainnya. Lagi-lagi, di sini masyarakat protes. ''Semoga masuk neraka anak kurang ajar ini,'' teriak mereka. ''Beraninya dia naik keledai, sementara ayahnya dibiarkan terlunta-lunta.''Kali ini, anak Lukman mulai bingung. Dia merasa serba salah. Tetapi, akhirnya, dia mematuhi usul ayahnya agar mereka menunggangi keledai kurus itu bersama-sama. Sang keledai terlihat terhuyung-huyung ketika masyarakat tiba-tiba menghadang perjalanan mereka, lalu berdemonstrasi. ''Kami belum tentu berakhlak baik, Lukman!'' kata mereka. ''Tetapi, kami tidak sampai hati mengeroyok keledai kurus seperti ini. Di mana perikemanusiaan Anda?''Lukman dan anaknya buru-buru turun dari keledai itu, lalu minta maaf. Mereka kemudian menuntun keledai itu sekali lagi. Tapi, khawatir dikritik seperti kejadian pertama, Lukman cepat-cepat menghentikan perjalanannya, lalu mengajak anaknya bermusyawarah. ''Terserah ayah saja. Saya bingung,'' kata anaknya.''Kalau begitu, mari kita gendong keledai ini bersama-sama,'' perintah Lukman. Bapak dan anak itu kemudian menggotong keledai itu sampai ke rumah, biar pun sepanjang jalan masyarakat memaki-maki dan mengkritik mereka. Kita dianjurkan bersikap ramah dan bijaksana seperti Lukman, dan dianjurkan bersikap patuh dan moderat seperti anaknya. Tetapi, kita pasti dilarang bersikap pasif seperti keledai Lukman, yang sama sekali tidak berpikir ketika kelompoknya dikritik.

TUTUP AIBMU

Dalam kitab Asbabun Nuzul karya KH Qamaruddin Shaleh dkk, disebutkan Salman al Farisi, salah seorang sahabat Rasulullah SAW, jika selesai makan ia terus tidur dan mendengkur. Perbuatan ini kemudian dipergunjingkan oleh orang-orang yang mengetahui perilaku Salman. Akibatnya, 'aib' ini tersebar luas.
Atas kejadian ini Allah menurunkan ayat, ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.'' (QS Al Hujurat [49]: 12).
Dalam ayat di atas Allah melarang orang-orang yang beriman berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, dan melarang bergunjing. Bahkan, Allah mengumpamakan mereka yang gemar bergunjing (ghibah) seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Sungguh suatu perbuatan yang bukan saja mendatangkan dosa, tapi juga amat menjijikkan.
Namun, fakta dalam masyarakat kita saat ini, membuka aib orang lain, sudah menjadi menu sehari-hari. Sudah menjadi 'tradisi'. Lihat isi tayangan televisi, penuh dengan gosip yang intinya membuka aib orang lain.
Begitupun dengan media massa yang lain seperti koran dan majalah. Tayangan pembuka aib seseorang ini terus saja marak kendati Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan haram.
Membuka aib orang lain, apalagi sesama Muslim, sama seperti membuka aib sendiri. Sebab, seorang Muslim terhadap Muslim yang lain ibarat satu tubuh. Jika ada satu bagian tubuh yang sakit, bagian tubuh yang lain akan merasakan sakit juga. Tak cuma itu, jika kita gemar membuka aib orang lain, aib diri sendiri, cepat atau lambat, akan terbuka juga.
Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Barzah Al Aslami mengatakan, ''.... Jangan sekali-kali kamu bergunjing terhadap kaum Muslimin, dan jangan sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena, barangsiapa yang mencari-cari noda kaum Mukminin, Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya.'' Na'udzubillahi min dzalika, semoga kita terhindar dari perbuatan demikian.
Berkenaan dengan itu mari kita memperbanyak doa sebagaimana Rasulullah ajarkan kepada para sahabatnya agar aib kita tidak terbuka, Allahumma laa tada'lana dzanban illa ghafartahu, wala 'ayban illa satartahu. Ya Allah, janganlah Engkau biarkan pada diri kami dosa kecuali Engkau ampunkan. Dan janganlah Engkau biarkan aib pada diri kami kecuali Engkau tutupi...

instropeksi diri dan zikir kepada Allah

PEMERIKSAAN DIRI DAN ZIKIR KEPADA ALLAH
hujjatul islam imam Al ghazali

Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa di dalam al-Qur'an Tuhan telah berfirman, "Akan Kami pasang satu timbangan yang adil di Hari Perhitungan dan tak akan ada jiwa yang dianiaya dalam segala hal. Siapa pun yang telah menempa satu butir kebaikan atau maksiat, kelak pada hari itu akan melihatnya." Di dalam al-Qur'an juga tertulis, "Setiap jiwa akan melihat apa yang diperbuat sebelumnya pada Hari Perhitungan." Khalifah Umar pernah berkata, "Tuntutlah pertanggungjawaban dari dirimu sebelum dituntut pertanggungjawabanmu." Dan Tuhan berfirman, "Wahai kaum mukminin, bersabar dan berjuanglah melawan nafsu-nafsumu dan kemudian beristiqamahlah." Semua wali paham bahwa mereka datang ke dunia ini untuk menyelenggarakan suatu lalu-lintas ruhaniah. Perolehan ataupun kerugian yang menjadi akibatnya adalah surga atau neraka. Oleh karena itu, mereka selalu menatap dengan pandangan waspada kepada badan mereka yang berkhianat, bisa menyebabkan mereka menderita kerugian besar. Oleh karena itu, hanya orang-orang bijaksana sajalah yang setelah shalat subuhnya menghabiskan satu jam penuh untuk mengadakan perhitungan ruhaniah dan berkata kepada jiwanya, "Wahai jiwaku, engkau hanya mempunyai satu hidup. Tidak satu pun saat yang telah lewat bisa dikembalikan, karena dalam perbendaharaan Allah jumlah nafas bagianmu sudah tertentu dan tidak bisa ditambah. Ketika kehidupan telah berakhir, tidak ada lagi lalu-lintas ruhaniah yang mungkin kau peroleh. Karena itu, apa yang bisa kau kerjakan, kerjakanlah sekarang. Perlakuan hari ini sedemikian rupa seakan-akan hidupmu telah kau habiskan sama sekali dan bahwa hari ini adalah hari tambahan yang dianugerahkan kepadamu oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kekeliruan apa lagi yang lebih besar daripada menyia-nyiakannya?"
Pada Hari Kebangkitan seseorang akan mendapati seluruh jam-jam hidupnya terjajar seperti satu deret lemari perbendaharaan. Pintu salah satu lemari itu akan terbuka dan akan tampak penuh dengan cahaya. Hal itu mencerminkan saat yang dihabiskan untuk melakukan kebaikan. Hatinya akan dipenuhi dengan kegembiraan sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja sudah akan membuat penghuni neraka melupakan api itu. Pintu lemari yang kedua akan terbuka; di dalamnya gelap pekat dan dari dalamnya terpancar bau tidak enak, yang menyebabkan setiap orang menutup hidungnya. Itu mencerminkan saat-saat yang dihabiskan untuk berbuat maksiat. Ia akan merasakan takut yang sedemikian besar sehingga sebagian daripadanya saja sudah akan segera membuat penghuni surga gelisah dan memohon rahmat. Pintu lemari yang ketiga pun terbuka; di dalamnya tampak kosong, tak ada cahaya tidak pula gelap. Ini mencerminkan saat-saat yang tidak dipakai untuk melakukan kebaikan maupun maksiat. Waktu itu ia akan merasa sangat menyesal dan bingung laksana seorang yang memiliki harta banyak, tapi menyia-nyiakannya atau membiarkannya lepas begitu saja dari genggamannya. Jadi, seluruh rangkaian saat-saat hidupnya akan dipertunjukkan satu demi satu di depan matanya. Lantaran itu, seseorang mesti berkata kepada jiwanya setiap pagi: "Allah telah memberimu khazanah dua puluh empat jam. Berhati-hatilah agar engkau tidak kehilangan satu pun di antaranya, karena engkau tidak akan mampu menahan penyesalan yang akan mengikuti kerugian seperti itu."
Para wali telah berkata, "Sekalipun, misalnya, Allah akan mengampuni anda yang menyia-nyiakan kehidupan, anda tidak akan bisa mencapai tingkatan orang-orang saleh dan mesti akan menyesali kerugian anda. Oleh karena itu, awasilah dengan ketat lidah anda, mata anda dan segenap anggota rubuh anda, karena masing-masing daripadanya mungkin menjadi pintu gerbang menuju neraka. Ucapkanlah pada badan anda, 'Jika engkau memberontak, sesungguhnya aku akan menghukummu' karena meskipun badan itu keras kepala, ia mampu menerima perintah dan bisa dijinakkan dengan keprihatinan." Itulah tujuan pemeriksaan diri, dan Nabi saw. telah berkata, "Kebahagiaan itu bagi orang yang sekarang mengerjakan amal-amal yang akan memberikan keuntungan baginya setelah mati."
Sekarang sampailah kita pada dzikrullah yang berarti ingatnya seseorang bahwa Allah mengamati seluruh tindakan dan pikirannya. Orang-orang hanya melihat penampilan luar, sementara Allah melihat keduanya; yang di luar maupun yang di dalam diri manusia. Orang yang benar-benar mempercayai hal ini akan mampu mendisiplinkan wujud-luar maupun wujud-dalamnya. Jika ia menyangkal hal ini, maka ia adalah seorang kafir; dan jika sementara mempercayainya dia bertindak bertentangan dengan kepercayaannya itu, maka dia telah melakukan kesalahan berupa bersikap angkuh yang paling parah.
Suatu hari seorang Habsy datang kepada Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, saya telah melakukan banyak dosa. Mungkinkah tobat saya bisa diterima?" Nabi menjawab, "Ya." Kemudian sang Habsy berkata, "Wahai Rasulullah, setiap saya melakukan dosa, adakah Tuhan benar-benar melihatnya?" "Ya," jawab beliau. Sang Habsy pun melontarkan pekikan dan kemudian jatuh tak sadar. Sebelum seseorang benar-benar yakin akan kenyataan bahwa ia selalu berada di dalam pengamatan Allah, tidak mungkin ia bertindak di jalan yang benar.
Seorang Syaikh suatu kali mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari yang lain, sehingga membangkitkan rasa iri mereka. Suatu hari sang Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang bisa melihat. Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh unggasnya di tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup seraya berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu melihatku di mana-mana." Sang Syaikh pun berkata kepada muridnya yang lain, "Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingati Allah."
Ketika Zulaikha menggoda Yusuf, ia menutupkan kain ke atas wajah berhala yang biasa disembahnya. Yusuf berkata kepadanya, "Wahai Zulaikha, engaku malu di hadapan seonggokan batu, maka tidakkah aku mesti malu di hadapan Dia yang menciptakan tujuh langit dan bumi." Satu kali seseorang datang kepada Wali Junaid dan berkata, "Saya tidak bisa menahan pandangan mata saya dari melihat hal-hal yang menggairahkan. Apa yang mesti saya perbuat?" Jawab Junaid, "Dengan mengingat bahwa Allah melihatmu jauh lebih jelas daripada kamu melihat orang lain." Di dalam hadits qudsi tertulis bahwa Allah berfirman, "surga itu bagi orang-orang yang sempat berkeinginan untuk mengerjakan dosa tapi kemudian ingat bahwa mataKu ada di atas mereka dan kemudian mereka menahan diri."
Abdullah bin Dinar meriwayatkan, bahwa suatu kali ia berjalan bersama Khalifah Umar di dekat Makkah ketika bertemu seorang anak laki-laki penggembala sedang menggembalakan sekawanan domba. Umar berkata kepadanya, "Juallah seekor domba padaku." Anak laki-laki itu menjawab, "Domba-domba ini bukan milikku, tapi milik tuanku." Kemudian untuk mengujinya, Umar berkata, "Engkau kan bisa berkata kepadanya bahwa seekor srigala telah menyambar salah satu di antaranya, dan dia tidak akan tahu apa-apa mengenai hal itu?" "Tidak, memang dia tak akan tahu," kata anak itu, "tapi Allah akan mengetahuinya." Umar pun menangis dan mendatangi majikan anak laki-laki itu untuk membelinya dan kemudian membebaskannya sambil berkata, "Ucapanmu itu telah membuatmu bebas di dunia ini akan akan membuatmu bebas pula di akhirat."
Ada dua tingkatan DZIKRULLAH ini.
Tingkatan PERTAMA adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikirannya seluruhnya terserap dalam perenungan dan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi ruang di hati mereka untuk hal-hal lain. Inilah tingkatan zikir, yang lebih rendah, karena ketika hati manusia sudah tetap dan anggota-anggota tubuhnya sedemikian terkendalikan oleh hatinya sehingga mereka menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang sebenarnya halal, maka ia sama sekali tak lagi butuh akan alat ataupun penjaga terhadap dosa-dosanya. Terhadap zikir seperti inilah Nabi saw. berkata, "Orang yang bangun dipagi hari hanya dnegan Allah di dalam pikirannya maka Allah akan menjaganya di dunia ini maupun di akhirat."
Beberapa di antara penzikir ini sampai sedemikian larut dalam ingatan akan Dia, sehingga, mereka tidak mendengarkan orang yang bercakap dengan mereka, tidak melihat orang berjalan di depan mereka, tetapi terhuyung-huyung seakan-akan melanggar dinding. Seorang wali meriwayatkan bahwa suatu hari ia melewati tempat para pemanah sedang mengadakan perlombaan memanah. Agak jauh dari situ, seseorang duduk sendirian. "Saya mendekatinya dan mencoba mengajaknya berbicara, tetapi dia menjawab, 'Mengingat Allah lebih baik daripada bercakap.' Saya berkata, 'Tidakkah anda kesepian?" 'Tidak,' jawabnya, 'Allah dan dua malaikat bersama saya.' Sembari menunjuk kepada para pemanah saya bertanya, 'Mana di antara mereka yang telah berhasil menggondol gelar juara?' 'Orang yang telah ditakdirkan Allah untuk menggondolnya,' jawabnya. Kemudian saya bertanya, 'Jalan ini datang dari mana?" Terhadap pertanyaan ini dia mengarahkan matanya ke langit, kemudian bangkit dan pergi seraya berkata, "Ya Rabbi, banyak mahlukMu menghalang-halangi orang dari mengingatMu.' "
Wali Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktekkan ketenangan tafakur seperti itu?" Tsauri menjawab, "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lobang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."
Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya diberitakan bahwa di kota Sur seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam dzikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke Makkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata, "Saya meminta dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya." Yang lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas salam anda." Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk memberikan nasehat." Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun terlontar dari kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian saya berkata dalam hati, "Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah, untuk memberi saya beberapa nasehat." Yang muda mengkasyaf pikiran saya, kemudian sekali lagi mengangkat kepalanya, "Pergi dan carilah seseorang yang dengan mengunjunginya akan membuat anda mengingati Allah, dan menanamkan rasa takut akan Dia di dalam hati anda, dan yang akan memberi anda nasehat melalui diamnya, bukan lewat cakapnya."
Itu semua adalah zikir para wali, yaitu berada dalam keadan terserap keseluruhan dalam perenungan akan Allah.
Tingkatan KEDUA dari dzikrullah adalah zikir "golongan kanan" (ashabul-Yamin). Orang-orang ini sadar bahwa Allah mengetahui segala sesuatu tentang mereka dan merasa malu dalam kehadiranNya. Meskipun demikian, mereka tidak larut dalam pikiran tentang keagungan-keagunganNya, melainkan tetap sepenuhnya sadar diri. Keadaan mereka seperti seseorang yang tiba-tiba terperangah di dalam keadaan telanjang dan dengan terburu-buru menutupi dirinya. Kelompok tingkatan pertama tadi menyerupai seseorang yang tiba-tiba mendapati dirinya di hadapan seorang raja dan merasa bingung serta kaget. Kelompok tingkatan kedua menyelidiki dengan teliti semua hal yang terlintas dalam pikiran mereka, karena pada hari akhir tiga pertanyaan akan ditanyakan berkenaan dengan setiap tindakan: kenapa engkau melakukannya?; bagaimana kamu melakukannya; apa tujuanmu melakukannya? Yang pertama ditanyakan karena seorang semestinya bertindak berdasarkan dorongan (impuls) Ilahiah dan bukan dorongan setan atau badaniah belaka. Jika pertanyaan ini dijawab dengan baik, maka pertanyaan kedua akan menguji tentang bagaimana pekerjaan itu dilakukan secara bijaksana atau ceroboh dan lalai. Dan yang ketiga, pekerjaan itu dilakukan hanya demi mencari ridha Tuhan ataukah demi memperoleh pujian manusia. Jika seseorang memahami arti pertanyaan-pertanyaan ini, ia akan menjadi sangat awas terhadap kadaan hatinya dan terhadap bagaimana ia berpikiran sebelum akhirnya bertindak. Memperbedakan pikiran-pikiran itu adalah hal yang sulit dan musykil dan orang yang tidak mampu melakukannya mesti mengaitkan dirinya pada seorang pengarah ruhani yang bisa menerangi hatinya. Ia mesti benar-benar menghindar dari orang-orang terpelajar yang sepenuhnya bersikap duniawi. Mereka itu agen setan. Allah berfirman kepada Daud a.s. "Wahai Daud, jangan bertanya tentang orang-orang terpelajar yang teracuni oleh cinta dunia, karena ia akan merampok kecintaanKu darimu." Dan Nabi saw. bersabda, "Allah mencintai orang yang cermat dalam meneliti soal-soal yang meragukan dan yang tidak membiarkan akalnya dikuasai oleh nafsunya." Nalar dan pembedaan berkaitan erat, dan orang yang di dalam dirinya nalar tidak mengendalikan nafsu tidak akan cermat melakukan penyelidikan.
Di samping beberapa peringatan tentang penelitian sebelum bertindak, seseorang juga mesti dengan ketat menuntut pertanggungjawaban dirinya atas tindakan-tindakan masa lampaunya. Setiap malam ia mesti memeriksa hatinya berkenaan dengan apa yang telah ia kerjakan., demi melihat telah beruntung ataukah merugi ia dalam modal ruhaninya. Inilah yang lebih penting, karena hati itu seperti rekanan dagang yang khianat yang selalu siap untuk menipu dan mengelabui. Kadang-kadang ia menampakkan perasaan mementingkan-diri-sendirinya dalam bentuk ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, sehingga seseorang menyangka bahwa ia telah beruntung padahal sebenarnya ia merugi.
Seorang wali bernama Amiya, berumur enam puluh tahun, menghitung hari-hari dalam hidupnya dan ia dapati bahwa hari-harinya itu berjumlah 21.600 hari. Ia berkata kepada dirinya sendiri, "Celaka aku, sekiranya aku melakukan satu dosa saja setiap harinya, bagaimana aku bisa melarikan diri dari timbunan 21.600 dosa?" Ia pun memekik dan rubuh ke tanah. Ketika orang-orang datang untuk membangunkannya, mereka dapati ia telah mati.
Tetapi sebagian besar manusia bersifat lalai dan tidak pernah berfikir untuk meminta pertanggungjawaban dirinya sendiri. Jika bagi setiap dosa yang dilakukannya, seseorang menempatkan sebutir batu di dalam sebuah rumah kosong, segera saja akan ia dapati rumah itu penuh dengan batu. Jika malaikat pencatat menuntut upah darinya bagi pekerjaan menuliskan dosa-dosanya, maka semua uangnya akan cepat sirna. Orang menghitung biji tasbih dengan rasa puas diri setiap kali mereka selesai menyebut nama Allah, tetapi mereka tidak mempunyai tasbih untuk menghitung kata-kata sia-sia yang tak terbilang banyaknya yang telah mereka ucapkan. Oleh karena itu, Khalifah Umar berkata, "Timbang benar-benar kata-kata dan tindakan-tindakanmu sebelum semuanya itu ditimbang pada saat pengadilan nanti." Ia sendiri sebelum beristirahat pada setiap malamnya biasa memukul kakinya dengan disertai rasa ngeri kemudian berseru, "Apa yang telah kau lakukan hari ini?" Abu Thalhah suatu kali shalat di sebuah kebun korma ketika menampak seekor burung indah yang melintas menyebabkannya salah hitung jumlah sujud yang telah dilakukannya. Untuk menghukum dirinya karena kelalaiannya ini, ia memberikan kebun kormanya kepada orang lain. Wali-wali seperti itu tahu bahwa sifat inderawi mereka cenderung untuk tersesat. Oleh karena itu mereka mengawasi dengan ketat dan menghukumnya untuk setiap kesalahan yang dilakukannya.
Jika seseorang mendapati dirinya bebal dan menolak sikap cermat dan disiplin diri, ia mesti selalu bersama-sama dengan seseorang yang cakap dalam praktek-praktek seperti itu agar ia tertulari entusiasme sang ahli tersebut. Seorang wali biasa berkata, "Jika saya ogah-ogahan dalam melakukan disiplin diri, saya menatap Muhammad ibn Wasi, dan memandangnya saja sudah akan menyalakan kembali semangat saya, paling tidak untuk seminggu." Jika seorang tidak bisa menemukan teladan sikap cermat seperti itu di sekitarnya, maka baik baginya utnuk mempelajari kehidupan para Wali. Ia juga mesti mendorong jiwanya!
"Wahai jiwaku, kau anggap dirimu cerdas, dan marah jika disebut tolol. Lalu sebetulnya kau ini apa? Kau persiapkan pakaianmu untuk menutupi dirimu dari gigitan musim dingin, tapi tidak kaupersiapkan diri untuk akhiratmu. Keadaanmu seperti seseorang yang di tengah musim dingin berkata, 'Saya tak akan mengenakan pakaian hangat, tetapi percaya pada rahmat Tuhan untuk melindungi saya dari dingin.' Ia lupa bahwa bersamaan dengan menciptakan dingin, Allah menunjuki manusia cara membuat pakaian untuk melindungi diri darinya dan menyediakan bahan-bahan untuk pakaian itu. Ingatlah juga, wahai diri, bahwa hukumanmu di akhirat bukan karena Allah marah pada ketidaktaatanmu, dan jangan berpikir: "Bagaimana mungkin dosa saya mengganggu Allah?" Nafsumu sendirilah yang akan menyalakan kobaran neraka dalam dirimu. Makanan tidak sehat yang dimakan seseorang menimbulkan penyakit pada tubuh orang itu, bukan karena dokter jengkel kepadanya karena melanggar nasehat-nasehatnya.
"Celakalah 'kau, wahai diri, karena cintamu yang berlebihan kepada dunia! Jika kau tidak percaya pada surga dan neraka, bagaimana mungkin kau percaya pada mati yang akan merenggut semua kenikmatan duniawi dirimu dan menyebabkan kau menderita oleh perpisahan itu sebanding dengan keterikatanmu pada kenikmatan duniawi itu. Kenapa kau dicipta setelah dunia? Jika semuanya, dari timur sampai barat, adalah milikmu dan menyembahmu, toh dalam waktu singkat semuanya itu akan menjelma menjadi debu bersama dirimu, dan pemusnahan akan menghapuskan namamu sebagaimana raja-raja sebelummu. Tetapi sekarang, mengingat bahwa kau hanyalah memiliki sebagian sangat kecil dari dunia ini dan itu pun bagian yang kotor daripadanya, akankah kau begitu gila untuk menukar kebahagiaan abadi dengannya, permata yang mahal dengan sebuah gelas pecah yang terbuat dari lempung dan menjadikan dirimu bahan tertawaan orang-orang di sekitarmu?"